Rabu, 08 Maret 2017

Diary Oji - arti sebuah kehilangan

      Wajah tak ceria menghampiriku hari itu. Menghenyakkan tubuhnya di kursi besi yang berderit lirih menahan sedikit beban di kerangkanya. Mengerenyit gusar oji berkata, mih sepatuku jebol,  lihat nih.. dibuka-bukanya sisi sepatu sampai menganga. Duh de jangan gitu dong, nanti rusak beneran.. kita sol aja yuk! bujukku. Wajahnya merengut cemberut,.. pingin sepatu kaya teman-teman.. ucapnya pura-pura tak memandang wajahku. Miris, pola hidup teman-teman sekolahnya mau tidak mau pasti merasuki, pasti sulit baginya bergaul dengan lingkungan yang notabene kalangan atas. Toh oji hanya anak-anak belaku menghela napas khawatir. Aku mau sepatu kets, ucapnya lagi. Biar pake uang tabungan dede aja, tekadnya begitu bulat hampir meluruhkan hatiku. De, sayang tabungannya, lagipula sebentar lagi masuk smp, memang boleh pakai sepatu kets? jangan sampai nanti beli lagi karena menyalahi aturan. Oji menunduk, biar mih.. kan pake uang dede, nanti sepatu yang rusak ini disol kalau sudah beli yang baru. Menghela napas meraih sepatu yang katanya rusak, padahal hanya terbuka sedikit pinggiran lemnya pikirku risau. Okelah kalo kamu mau beli yang baru tapi pakai uang sendiri yah! Cemberut diwajahnya langsung hilang, dengan semangat dia menarik tanganku mengajak bergegas ke toko sepatu.
    Dan kembali sedikit penyesalan itu menyeruak ketika melihat dia memilih sepatu-sepatu yang harganya wah menurutku. Seharusnya aku tegas dan tidak membaurkannya di kalangan atas itu, sedikit banyaknya pasti oji terpengaruh dengan pola hidup mereka, pola hidup yang berbanding terbalik dengan keluarga kami. De, coba pilih yang benar jangan yang terlalu mahal! ucapku ketika melihat dia kembali meraih sepatu seharga 700. Tapi mamih temen dede pake sepatu ini, ucapnya gusar. Temen dede ya temen dede, dede ya dede.. aa juga pake sepatu yang harga biasa, aa ngerti kalau harus belajar hemat bantahku tegas. Tapikan pake uang dede mih.. kan u.... kalimatnya terputus melihat kilatan marah di wajahku. Diletakkannya sepatu itu dan kami kembali berjalan menyusuri toko-toko yang lain.
     Akhirnya di toko terakhir aku menyerah dengan sepatu pilihannya yang harganya menghabiskan separuh tabungannya. Masih kemahalan menurutku, tapi hatiku luluh melihat dia jatuh cinta pada pilihannya. Dan pulanglah kami dengan membawa sedikit dilema karena tetap hati risau dengan barang yang dibeli tadi.
     Seminggu berlalu dan dia begitu istimewa memperlakukan sepatunya. Sekarang dede sama kaya teman-teman ucapnya sumringah. Jleb! seperti tertusuk pisau besar aku pilu. Semoga ini hanya pengaruh sementara doaku dalam hati. Seperti cambukan bagiku untuk lebih berhati-hati di kemudian hari bila hendak membaurkan anak di lingkungan pendidikan, baiknya aku memilih lingkungan yang setara dengan gaya hidup keluarga kami. Jangan sampai rasa minder dan rasa ingin meniru berlebih tertanam di hati anak karena pengaruh lingkungan yang tak setara. Ini yang harus aku pegang teguh.
     Sampai suatu ketika Allah berkata lain mendengar keluhan hatiku. Hari itu entah mengapa kami bergegas ke sebuah toko untuk melihat-lihat gerobak dagangan. Sedikit malas sebenarnya, tapi kaki tetap melangkah duluan memasuki toko,  Suami dan oji tertinggal di belakang. Akhirnya kami terlibat perbincangan serius dengan pemilik toko beberapa saat. Ketika melangkah keluar menuju motor yang terparkir manis di pinggir jalan,  oji terlihat tertegun-tegun melangkah. Mamih tas dede mana? Kami terkesiap. Ternyata tas ditinggal begitu saja dimotor, kesalahan yang sangat fatal. Dicaripun takkan ketemu karena tas disabet begitu saja dari motor. Sepatu dede mih? ucapnya tertahan. Ya allah sepatu barunya didalam tas. Tenang de tenang ucapku gelisah. Gelisah memikirkan buku-buku UN yang hilang. Suamiku tampak geram dan menyesal,  campur aduk. Astaghfirullah baru sekali ini kami mengalami kejadian seperti ini. Semoga ada hikmahnya.
      Kami kembali bergegas, bergegas menuju palasari... buku.. yah buku-buku yang penting. Oji tampak menahan airmata sepanjang menyusuri toko buku. Ikhlas de? tanyaku perlahan. Enggak! jawabnya tegas sebulir airmata terpeleset jatuh di pipi pucatnya. Perlahan aku berkata, insha allah ada gantinys de. Dan hari itu kami sibuk mengumpulkan peralatan sekolah yang hilang. Sampai di perjalanan melalui alun-alun aku meminta suami untuk berbelok kiri. Mau apa mih kesini? tanya oji. Beli sepatu jawab suamiku. Mamih udah aja sepatu yang dirumah di sol aja, gak usah beli mih! ucap oji gelisah. Rupanya dia tak enak hati melihat segala barang baru pengganti barang yang hilang tadi. Kamu yakin? tanyaku. Dia mengangguk tegas. Alhamdulillah serasa ada aliran sejuk dihatiku. Pulang ke rumah seribu aliran rasa mengalir diantara kami. De ini yang mamih maksud jangan berlebihan, masih banyak anak lain yang tak punya sepatu. Tak punya uang untuk membelinya. Sepatu hanya sekadar pelindung kaki, hanyak untuk diinjak. Semahal apapun sepatu tetap saja kodratnya untuk diinjak. Oji termenung, iya mih semoga nanti ada gantinya. Dan dengan sungguh-sungguh dia mengambil buku barunya dan mulai mengerjakan tugas dengan senang. Mukjizat bagiku, dia akhirnya menyadari ternyata ilmulah yang terpenting. Arti dari sebuah kehilangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar