Jumat, 01 Juli 2022

5 Fakta Penderita Kusta dan OYPMK Sulit Diterima Masyarakat

 

5 Fakta Penderita Kusta dan OYPMK Sulit Diterima Masyarakat

 


Hari Kamis, 30 Juni 2022 saya mengikuti live streaming dengan topik yang menarik di channel Berita KBR. Mengambil tajuk “Rehabilitasi Sosial Yang Terintegrasi Untuk OYPMK & Disabilitas Siap Bekerja”, membuat mata saya jadi makin terbuka tentang penyakit kusta dan segala permasalahan yang mengikutinya.

Informasi dan fakta terkait masalah yang ada di sekitar penyandang disabilitas dan OYPMK dari para nara sumber Ibu Sumiatun S.Sos, M.Si dan Mbak Tety Sianipar, sangat mengkhawatirkan dan mencengangkan. Ternyata kusta benar-benar mendapat stigma buruk dari masyarakat dan butuh waktu untuk menghilangkannya. Harus ada edukasi menyeluruh agar mereka paham tentang penyakit ini, hingga berhenti melakukan tindakan pengucilan terhadap penyandang disabilitas dan OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta).

 

5 Fakta Penyandang Disabilitas dan OYPMK Sulit Diterima

Adalah kenyataan apabila kusta memang didoktrin penyakit yang mengerikan oleh masyarakat. Meskipun penyandang kusta telah dinyatakan sembuh oleh dokter, tetap saja masyarakat sulit menerima keberadaannya di lingkungan mereka. Masih banyak yang menganggap kusta penyakit menakutkan yang tak bisa sembuh. Rata-rata mereka sulit menerima penyandang disabilitas dan OYPMK karena alasan berikut ini;

 

Kusta penyakit menular yang tidak menular, disebut seperti ini karena penularan kusta memang tidak instan, tapi butuh waktu yang cukup lama. Bahkan cenderung tidak terlihat penularannya dan gejalanya sering diabaikan. Hal ini yang membuat masyarakat takut dan curiga terhadap penyandang disabilitas juga OYPMK.

Cacat pada penderita kusta menakutkan, luka bekas kusta memang tampak mengerikan dan meninggalkan bekas yang permanen pada bagian tubuh yang terkena penyakit. Kebanyakan orang pasti takut dan tidak ingin kontak dengan penyandang kusta walaupun sudah dinyatakan sembuh.

Kusta dianggap penyakit yang tidak bisa sembuh, karena bekas luka permanen yang tampak itu banyak orang berkeyakinan kalau kusta tidak bisa sembuh. Mereka takut kalau kontak dengan OYPMK akan tertular kusta juga.

Dianggap tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, mereka yang telah sembuh dari kusta diyakini oleh masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk berkarya meskipun telah mendapat pelatihan tentang pekerjaan.

Ditakutkan jadi beban, mirisnya mereka juga dianggap bakal jadi beban, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun pekerjaan. Karena diawalnya memang kemampuan bekerja dan berkaryanya telah diragukan.

 

Tantangan Terbesar OYPMK dan Penyandang Disabilitas

Memang menyedihkan stigma terhadap penyandang disabilitas dan OYPMK tersebut. Namun apa mau dikata, karena masih banyak anggota masyarakat yang belum mendapatkan edukasi menyeluruh tentang kusta. OYPMK dan penyandang disabilitas hingga saat ini tetap kesulitan untuk berbaur kembali di lingkungan masyarakat. Berbagai stigma negatif seolah mengurung mereka dalam lingkaran diskriminasi sebagai akibat dari Leprofobia (ketakutan berlebihan pada penderita kusta).

Seperti yang dijelaskan oleh para nara sumber pada acara live streaming, dampak dari diskriminasi tersebut terasa sekali dalam bidang pekerjaan. OYPMK dan penyandang disabilitas kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah mereka melalui proses rehabilitasi dan pelatihan kesiapan untuk bekerja sekalipun.

Diskriminasi menyebabkan penyandang disabilitas dan OYPMK juga kesulitan dalam bersosialisasi dan mengembangkan diri. Terutama pengembangan diri untuk produktif dalam bekerja. Tidak adanya dukungan sosial dari masyarakat juga sulitnya mengakses rehabilitasi sosial membuat proses pembauran sosial mereka jadi terhambat. Hal ini menyulitkan persiapan pelatihan mereka untuk produktif bekerja.

Padahal, seperti pernyataan Ibu Sumiatun S.Sos, M.Si, bahwa Kemensos bidang rehabilitasi sosial, memiliki program ATENSI (asistensi rehabilitas sosial). Di mana program ini memang disediakan untuk memfasilitasi para disabilitas termasuk penyandang dan eks kusta, salah satunya agar bisa produktif bekerja. Hal tersebut merujuk pada 26 hak penyandang disabilitas, yang salah satunya adalah hak terhadap pekerjaan. 

Program rehabilitasi dari Kemensos ini merujuk pada UU No 8 tahun 2016, bahwa Hak habiltasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi sejak dini secara inklusif sesuai dengan kebutuhan: bebas memilih bentuk rehabilitasi yang akan diikuti: dan mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak merendahkan martabat manusia.

Kegiatan Rehabilitasi Sosial penyandang disabiliatas ini mencakup poin-poin berikut dan dilaksanakan melalui kantor pusat, Dinas Sosial, serta Unit Pelaksana Teknis.

1. Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB)

2. Peningkatan keterampilan parenting skill bagi pendamping dan orang tua penyandang disabilitas berat dan penyandang disabilitas Intelektual

3. Pemantapan pendamping ASPDB

4. Penguatan peran keluarga dan masyarakat dalam Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Rungu Wicara dan rungu wicara untuk kemandirian di masyarakat

5. Unit informasi dan layanan sosial 

6. Pelayanan sosial dalam kedaruratan

Ditambah dengan pernyataan Mbak Tety Sianipar, dimana Kerjabilitas membantu eks kusta dan disabilitas  dalam memfasilitasi mereka agar bisa masuk ke dunia kerja formal. Sayangnya, kemudahan-kemudahan akses tersebut terhambat jalannya akibat stigma masyarakat. Kenyataannya, disabilitas dan eks kusta masih tetap saja kesulitan diterima di tengah masyarakat.

Dari hal di atas dapat disimpulkan apabila masalah disabilitas dan eks kusta ini merupakan tanggung jawab bersama. Semua pihak harus mau bersinergi agar masalah diskriminasi terhadap disabilitas dan OYPMK dapat ditanggulangi. Sehingga pada akhirnya mereka dapat berbaur kembali di masyarakat dan mendapatkan hak-hak penyandang disabilitas.