Senin, 25 Februari 2019

Nibiru-Masa Kehancuran


Menulis bagiku adalah sebuah perjalanan. Dimulai dari masa kanak-kanak  yang penuh imajinasi, ruang-ruang khayal selalu dipenuhi petualangan. Setiap hari adalah awal dari perjalanan baru seorang anak  yang memiliki daya khayal tinggi. Aku adalah  seorang putri kerajaan, seorang detektif, bahkan seorang penyihir. Tiap detik nafas adalah penjabaran  dari petualangan yang tertera di pikiran. Dan aku akan tetap hidup di dalamnya, bersama setiap aksaranya, berkelana di ruang imaji tanpa tepi.

Seiring waktu puisi-puisi di lembaran akhir buku mulai berubah abu-abu. Bahkan penaku mulai mengering tetesannya digerus tamparan kehidupan dari  tahun ke tahun. Dan menulis pun terlupakan, setimpal dengan pengaruhnya pada kesehatan psikisku. Tanpa disadari  segala ruang imaji  yang tak terproses menjadi gumpalan di hati dan pikiran. Menyumbat setiap  kesenangan dan  kebebasan.  Akhirnya aku  terbelenggu dalam kehampaan dan sering mencoba berontak—walau tak paham bagaimana caranya.

Angka 40 dan Lutut

Bahagia kalau lutut bisa sekuat ini


        Ugh! nyeri rasanya ketika tulang lutut menopang badan yang naik ke atas bus. Padahal saya selalu berusaha mengurangi beban lutut dengan mengangkat badan dan bertumpu pada kedua lengan. Pernah  mengalami hal serupa tidak? Jujur, momen naik ke bus jadi salah satu biang keladi stres saya. Memang dilema setiap naik bus yang tangga otomatnya rusak. Bahkan tidak disangkal lagi kalau saya jadi sering menyalahkan pelayanan bus yang buruk. Padahal bisa saja mereka belum sempat mereparasi tangga otomat yang rusak itu.

           Walau begitu, demi pelayanan optimal pada penumpang tidak ada salahnya pihak penyedia transportasi  bus mengecek kondisi kendaraan secara berkala. Saya yakin tangga otomat ini sangat penting bagi beberapa golongan penumpang (termasuk saya). Bisa dibayangkan tidak seorang nenek yang mencoba naik bus tanpa tangga ini? Atau (maaf) yang kebetulan kakinya cacat? Duh, saya saja yang kebetulan setengah manula (eh?) dan lutut setengah sehat-kewalahan naik bus tanpa tangga itu.  

Sabtu, 09 Februari 2019

Ketika Anak Remaja


“Ayo, kakak kita nonton. Ada film seru di bioskop!” ajakku pada si sulung suatu hari.

          Anak pertamaku merengut. “Mami nonton sama temen Mami aja... kakak juga nontonnya sama temen-temen sendiri.”

          Deg! Ada rasa ngilu yang tiba-tiba menyayat hati. Mungkin aku sedikit berlebihan, tapi sedih rasanya ketika anak-anak tidak mau diajak nonton. Apa ada yang mengalami hal serupa? Aku yakin, banyak dari kalian yang juga merasa kehilangan kebersamaan dengan anak ketika mereka mulai sibuk dengan dunianya. Keberadaan teman-teman baru akan mengalihkan perhatiannya dari kita sebagai orangtuanya.

          Teringat ketika mereka masih kecil aku sering mengeluh. Terutama karena tidak memiliki waktu untuk menyalurkan hobi. Malah sering mencuri-curi waktu agar bisa pergi  sendirian. Dan sekarang rasa sesal itu datang. Sekiranya dulu aku tahu akan ada masanya mereka punya dunia sendiri, pastinya satu menit pun tidak akan disia-siakan.