Menulis
bagiku adalah sebuah perjalanan. Dimulai dari masa kanak-kanak yang penuh imajinasi, ruang-ruang khayal
selalu dipenuhi petualangan. Setiap hari adalah awal dari perjalanan baru
seorang anak yang memiliki daya khayal
tinggi. Aku adalah seorang putri
kerajaan, seorang detektif, bahkan seorang penyihir. Tiap detik nafas adalah
penjabaran dari petualangan yang tertera
di pikiran. Dan aku akan tetap hidup di dalamnya, bersama setiap aksaranya,
berkelana di ruang imaji tanpa tepi.
Seiring
waktu puisi-puisi di lembaran akhir buku mulai berubah abu-abu. Bahkan penaku
mulai mengering tetesannya digerus tamparan kehidupan dari tahun ke tahun. Dan menulis pun terlupakan,
setimpal dengan pengaruhnya pada kesehatan psikisku. Tanpa disadari segala ruang imaji yang tak terproses menjadi gumpalan di hati
dan pikiran. Menyumbat setiap kesenangan
dan kebebasan. Akhirnya aku
terbelenggu dalam kehampaan dan sering mencoba berontak—walau tak paham
bagaimana caranya.
Hingga
semua memuncak dan aku putuskan untuk meraih apa yang hilang dari hidup. Aku adalah pengelana
aksara yang akan tetap hidup di berbagai dimensi masa. Dan kebebasan itu—yang ingin kuraih—adalah bebas
mencipta dalam kata, dalam rasa penuh
imajinasi. Seperti puisiku pada
matahari, dan kisahku yang tertera di gulungan angin, terukir di deburan ombak—aku hanya ingin menulis hingga Sang
Pencipta merengkuh dari kehidupan.
Tahun
2018 adalah masa pengakuan jatidiri. Pada
akhirnya aku menemukan apa yang
menjadi tujuan selama ini. Mengukir kehidupan dengan sesuatu yang
bermanfaat, dan aku memilih melalui
media tulisan. Kemudian aku pun
merealisasikannya dengan bergabung di
grup-grup penulisan. Begitu banyak ilmu yang didapatkan hingga melahirkan
beberapa karya antologi. Dan sempat ‘terjebak’ menjadi tutor kepenulisan di
sebuah grup. Padahal aku merasa ilmu
yang dimiliki masih belum mumpuni.
Beberapa
karya solo sengaja aku endapkan. Karena
aku tipe penulis yang banyak mengambil kisah
dari kisah nyata. Kebetulan kisah-kisah itu masih berlanjut, dan masih
belum tertebak seperti apa akhirnya. Seperti naskah AILA yang memang
membutuhkan revisi total. Novel ini bercerita perjuanganku untuk tetap tegar dalam menjalani kehidupan dan beberapa kehilangan. Diantaranya nyaris
kehilangan kewarasan. Sebuah kisah yang masih berlanjut hingga sekarang dan
membutuhkan riset yang mendalam. Aku tak
ingin membuat cerita asal jadi. Menulis
novel itu butuh kesabaran, Seperti yang dikatakan Abah Tasaro GK, sebuah novel harus
memiliki tiga unsur penunjang untuk menjadikannya menarik. Pengalaman,
riset dan imajinasi harus terkandung di
dalamnya.
Jujur
aku sangat gembira ketika diajak ke acara
di Gramedia Bandung kemarin oleh teman komunitas. Sama sekali tidak
menyangka kalau di acara itu akan mendapatkan banyak ilmu kepenulisan dari Abah Tasaro GK. Dan yang lebih tak disangka lagi adalah pertemuan
dengan Abah. Nama Tasaro GK tak asing bagiku, karena buku Nibiru dan Ksatria Atlantis
bertengger manis di rak selama
bertahun-tahun. Dan aku selalu saja punya alasan untuk menunda membacanya.
Hingga Sabtu kemarin perjumpaan dengan beliau membuatku menyesal tidak membaca
Nibiru dari dulu.
Penulis
yang memiliki nama asli Taufik Saptoto Rahadi
ini memiliki mimpi menulis buku yang bisa menjadi petualangan bagi
anak-anak, dan perenungan bagi orang dewasa. Dilatarbelakangi oleh kecintaannya
pada sejarah dan Indonesia maka terciptalah buku Nibiru ini. Dengan setting Indonesia purba, Abah seakan
ingin menegaskan bahwa memang negeri
kita inilah atlantis yang hilang itu.
Abah ingin memperlihatkan kebanggaannya
pada negeri ini, dan salah satu caranya
adalah dengan menulis novel Nibiru ini.
Dari
Abah Tasaro juga aku mendapat ilmu berharga tentang penulisan novel. Ternyata untuk
membuat ceritanya hidup ada dua hal yang harus dilakukan;
Jatuh Cinta Pada Tema Cerita
Bagaimana
bisa kita sebagai penulis membuat cerita
yang tidak disukai. Jadi syarat utamanya
adalah si penulis harus mencintai
temanya. Ciri-ciri jatuh cinta pada tema adalah selalu terbayang-bayang di
setiap waktu.
Penulis Harus Jadi Karakter
Plot
dalam sebuah cerita dihidupkan oleh karakter
yang menggerakkannya. Bagaimana caranya agar si karakter hidup? Jawabannya
adalah penulis harus berakting jadi si
karakter. Dia harus benar-benar menjiwai karakter-karakternya.
Abah
mengatakan bahwa penulis itu seorang filsuf. Dia mampu merubah seeorang dengan
tulisannya. Karenanya riset itu diperlukan,
bahkan novel Nibiru sendiri lebih lama proses riset daripada penulisannya.
Setelah
mendengar cerita Abah, aku jadi
tertohok. Pantas saja beberapa novel
terasa begitu membosankan proses menulisnya. Itu karena aku tidak jatuh
cinta pada temanya. Lain lagi dengan naskah yang aku jiwai karakternya. Dalam
penulisannya terasa mudah dan menyenangkan. Aku juga jadi semakin mantap untuk melanjutkan riset. Karena pada intinya aku tak
ingin membuat cerita yang omong kosong.
Nibiru-Masa
Kehancuran sendiri merupakan revisi dari Nibiru dan Ksatria Atlantis.
Novel revisi ini hadir dengan ilustrasi
lebih fresh dengan bendera Bhuana Sastra imprint Bhuana Ilmu Populer. Novel ini
direvisi karena telah direncanakan untuk menerbitkan lima buku berikutnya. Dengan
kata lain untuk mengingatkan kembali para pembaca dengan kisah Nibiru ini.
Aku
benar-benar termotivasi setelah hadir di acara kemarin. Sudah saatnya
membereskan satu persatu naskah yang diendapkan selama ini. Seperti kata Abah
Tasaro ada dua hal tantangan dalam menulis;
Kritik
Jujur
aku sendiri pernah mengalami malas menulis ketika dikritik habis-habisan. Waktu itu tentang cerpen anak. Padahal niatnya aku
memang ingin menimba ilmu pada saat itu. Tapi sekarang aku berubah haluan,
bukan menulis untuk pembaca. Aku menulis karena ingin menulis, dan dengan
harapan pembaca terhibur karenanya.
Writer Block
Bagiku
writer block ini tidak ada. Aku setuju dengan yang dikatakan Abah, yang ada
adalah mood block. Tentunya hal ini
tidak berlaku sama pada setiap penulis. Biasanya
kalau aku hilang mood tidak memaksakan
diri untuk tetap menulis cerita yang
sama. Ada kalanya aku menulis cerita yang lain lebih dulu, atau membaca buku selama beberapa waktu.
Begitu
banyak ilmu berharga yang didapat hari Sabtu kemarin, dan aku menjadi bersemangat untuk menyelesaikan
naskah-naskahku. Komitmenku setelah acara tersebut adalah mengikuti setiap perkembangan novel Nibiru, dan tentu saja mereview setiap
bukunya. Terima kasih Abah Tasaro
atas ilmu dan pengalaman yang dibagikan.
saya belum selesai membaca nibiru mbak, tapi emang bagus (y)
BalasHapustunggu yang keduanya, mbak
HapusBaru tahu ni tentang Nibiru, jadi ingat the lost city of Atlantis...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus