Sabtu, 19 Mei 2018

Aji Saka - Asal Muasal Huruf Jawa Kuno

#Aji Saka
#Legenda dari tanah Jawa
#Cerita anak

Oleh: Yola Widya



Dahulu kala hiduplah seorang pemuda sakti bernama Aji Saka. Ia tinggal di wilayah kerajaan Medang Kamulan yang dipimpin oleh Prabu Dewata Cengkar. Rakyat kerajaan Medang Kamulan hidup dalam ketakutan. Hal itu dikarenakan raja mereka memiliki kegemaran yang mengerikan. Ia senang melahap daging manusia terutama yang berusia muda.

Pada suatu hari, Aji Saka yang tengah keluar dari pertapaannya mendengar keributan penduduk desa. Semua orang bergerombol di luar rumah. Para ibu menangis. Sedangkan pemuda-pemuda tampak ketakutan.

"Ada apa gerangan?" Aji Saka bertanya penasaran kepada seorang lelaki tua.

"Sang Raja!" teriak lelaki itu histeris. "Dia mengambil seorang pemuda dari desa ini!"

Aji Saka geram dengan kelakuan Prabu Dewata Cengkar. Ia bisa merasakan ketakutan yang melanda rakyat kerajaan Medang Kamulan ini. Mereka tak bisa melarikan diri karena wilayah kerajaan di jaga oleh para prajurit yang setia pada raja. Akhirnya Aji Saka bertekad menantang sang raja. Ia kemudian memasuki istana kerajaan dengan gagah berani.

"Siapa Kau?!" teriak raja. Prabu Dewata Cengkar bangkit dari tahtanya. Ia terheran-heran dengan kedatangan pemuda tak dikenal itu.

Aji Saka menjawab lantang, "Aku Aji Saka. Aku bermaksud menyerahkan diri padamu!"

Raja dan para penghuni istana tertawa mendengar perkataan Aji Saka. Mereka beranggapan pemuda itu sangat bodoh.

"Dagingmu terlihat sangat lezat!" wajah Prabu Dewata Cengkar mulai beringas. Ia ingin segera melahap pemuda kurang ajar itu.

Aji Saka tersenyum, "Hamba senang bisa menjadi santapanmu, Tuanku! Tapi dengan satu syarat!" teriaknya. Ia ingin semua penghuni istana mendengarnya.

"Katakan apa syaratmu, cepatlah!" balas sang raja.

"Aku ingin Kau hadiahi aku tanah selebar sorbanku ini!" jawab Aji Saka. Tangannya menunjuk kain yang membebat kepalanya.

Sontak raja dan para pengikutnya tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berpikir tak ada manusia yang sebodoh pemuda itu.

"Baiklah, Aku kabulkan permintaanmu. Sekarang gelarlah sorbanmu itu!" perintah sang raja.

Aji Saka dengan tenang melepas sorbannya. Ia kemudian menggelar kain sorban di lantai istana. Lebarnya tak lebih dari setengah meter. Raja sangat geli melihat tingkah Aji Saka. Baginya tanah selebar sorban itu tak ada artinya. Tapi kemudian keanehan terjadi. Kain sorban itu melebar dan semakin lebar lagi. Sampai akhirnya keluar dari istana dan hampir menutupi seluruh wilayah kerajaan. Tawa raja dan pengikutnya terhenti. Mereka tercengang. Kini rasa marah dan takut mulai menguasai mereka.

"Apa ini? Kau menipuku!" teriak Prabu Dewata Cengkar geram. Ia lalu menerjang Aji Saka dengan marah.

Aji Saka menyambut serangan sang raja. Mereka terlibat perkelahian sengit. Namun ternyata kesaktian Aji Saka bukanlah tandingan raja. Akhirnya, Prabu Dewata Cengkar pun binasa di tangan pemuda itu. Adapun sorban pusaka itu terus melebar dan akhirnya menutupi seluruh wilayah kerajaan Medang Kamulan. Aji Saka pun menjadi penguasa baru wilayah kerajaan itu. Rakyat kerajaan Medang Kamulan sangat gembira mendengar kematian raja mereka. Dan mereka berharap Aji Saka bisa menjadi raja yang baik.

Suatu hari Aji Saka menyempatkan diri untuk pulang ke pertapaannya. Ia ingin menyimpan sorban pusakanya di tempat yang aman.

"Wahai Subadra! Aku titahkan Kau untuk menjaga sorban pusaka ini. Kelak Aku akan mengambilnya kembali." perintah Aji Saka pada salah seorang abdi setianya di pertapaan.

Subadra menyanggupi tugasnya. Ia akan mengemban titah Aji Saka dengan sebaik-baiknya. Setelah menitipkan benda pusaka itu Aji Saka pun kembali ke istana. Ia membawa serta Dora, abdi setianya. Tak lama kemudian diceritakan Aji Saka akhirnya dinobatkan menjadi seorang raja. Ia memimpin kerajaannya dengan bijaksana. Rakyat Medang Kamulan pun sangat mencintainya.

Selang beberapa tahun di masa pemerintahannya, Aji Saka teringat akan sorban pusakanya. Ia ingin mengambil benda pusaka itu, tapi tak mungkin meninggalkan kerajaan begitu saja. Akhirnya ia memerintahkan Dora untuk mengambil sorban itu. Dora pun berangkat ke pertapaan untuk menemui Subadra.

"Saudaraku, lama nian kita tak jumpa!" Subadra sangat senang dengan kedatangan Dora.

Dora pun sebenarnya sangat merindukan pertapaan dan saudaranya itu. Mereka kemudian terlibat percakapan hangat.

"Saudaraku, Aku sebenarnya datang kemari mengemban tugas dari raja. Aku dititahkan untuk mengambil sorban miliknya." Dora akhirnya menyatakan maksud kedatangannya.

Kening Subadra berkerut, "Maaf, Saudaraku. Aku tak bisa mengabulkan permintaanmu. Aku dititahkan untuk menjaga sorban itu. Dan raja yang akan mengambilnya sendiri." Subadra menimpali perkataan Dora.

Dora tak mengerti dengan jawaban Subadra. Seharusnya saudaranya itu menyerahkan saja sorban itu.

"Aku pun mengemban titah, Subadra!" serunya. Wajahnya mulai menegang.

Subadra bersikeras tak mau menyerahkan sorban itu. Mereka berdua saling bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Merasa tak bersalah karena masing-masing mengemban titah dari Aji Saka. Pertengkaran mereka semakin sengit. Akhirnya terlibatlah mereka dalam pertempuran yang hebat.

Sementara itu Aji Saka mulai merasa aneh karena Dora tak kunjung kembali. Ia hendak mengirim utusan untuk menyusul abdinya itu tapi kemudian mengurungkannya. Tiba-tiba Aji Saka teringat janjinya pada Subadra. Ia dahulu berkata akan mengambil sendiri sorban pusaka itu. Terkejut dengan ingatannya itu, Aji Saka dengan segera berangkat ke pertapaan.

"Ya Tuhan!" pekiknya terkejut. Ia melihat kedua abdi setianya telah tak bernyawa ketika tiba di pertapaan.

Aji Saka sangat menyesali kelalaiannya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Kedua abdinya telah menunjukkan kesetiaan yang luar biasa padanya. Kemudian diceritakan Aji Saka menciptakan huruf Jawa kuno demi mengenang kesetiaan Subadra dan Dora. Huruf-huruf Jawa itu dinamai Ha na ca ra ka  Da ta sa wa la  Pa da ja ya nya  Ma ga ba tha nga. Yang artinya "ada utusan saling berkelahi, sama-sama saktinya, sama-sama mati".




Bandung, 19 Mei 2018


Jumat, 04 Mei 2018

Letter for Kenshin

Assalammu'alaikum


Maaf, aku tahu seharusnya salam itu kutujukan langsung padamu. Tapi aku belum sampai pada suatu kondisi menerima kenyataan yang ada. Bahkan tak sanggup hanya sekedar mengetikkan kata "hai" di kotak chat.

Entah ini tentang apa, tiba-tiba saja halaman yang kita tulis dengan indahnya jadi terkatung-katung. Aku tahu ini belum sampai pada akhir kalimat penyempurna. Hanya saja ketika semua kata jadi beku dan diam--cerita itu berbalik semu. Aku terpana dengan alur yang berubah kacau. Kau ... entah dengan pemikiran apa lagi--membuatnya jadi terhenti di waktu.

Bila aku membuatmu ragu, maafkan ... karena aku tak tahu. Ini bukan tentang kehidupan yang menjadi biru. Tapi tentang dirimu yang "pergi" ketika menyadari aku telah "bahagia". Seperti ucapanmu diawal, "aku di sini bersamamu hingga ada yang membuatmu tersenyum". Kalimat yang langsung ku koreksi dan akhirnya membuat kita bersatu dalam rasa.

Bertahun-tahun hanya tentangmu yang mencintaiku dalam diam. Tentang bagaimana aku berusaha yakinkan dirimu bahwa ini patut diperjuangkan. Tentang bagaimana akhirnya "diam" itu yang kembali menang. Aku--tak tahu--harus memaknai seperti apa diam ini. Sedangkan setiap hari yang terasa hanyalah rindumu yang kau sekap dalam diam. Yah, takkan mungkin hilang semua ikatan rasa diantara kita.

Kenshin ... aku rindu senyum simpulmu setiap ku panggil dirimu dengan nama itu. Haruskah seperti waktu yang lalu lagi? Saling mencintai dalam diam. Aku tak sanggup bertanya kabarmu walau aku tahu kau tengah menunggu. Sekali ini saja, bisakah kau mengalah? Ini bukan bahagiaku ... kaulah bahagiaku. Tidak di tulisan-tulisanku, tidak pula di kesibukanku. Hanya kamu ... kamu bahagiaku.

Merindumu dalam diam membuatku kelu. Dan semakin pilu ketika rindumu menyentuh hatiku. Aku ingin merubah alur yang keluar dari jalur cerita ini. Tapi aku tak bisa menghapusnya atau bahkan merobek halaman salahnya. Aku takut semakin membuat jalur ceritanya di luar harapan. Takut takkan pernah ada akhir yang pasti. Seperti yang selalu kau katakan, bila ini adalah cerita antara kita yang tak ada akhirnya.

My Kenshin, rasaku padamu tak perlu dimaknai tabu. Dan aku yakin dengan hatimu. Mungkin akhir cerita dari novelku dituliskan terlalu cepat. Tapi kusadari memang itulah ending yang harus tertulis. Jangan salahkan jalan cerita yang kutulis. Itu adalah hasil pengembangan sinopsis yang kau tulis. Aku hanya menyempurnakannya menjadi sebuah akhir yang tak terduga. Atau mungkin sebuah akhir yang menggantung. Entahlah ... karena aku selalu mengharapkan diam ini berakhir. Dan mengubah kembali alur yang salah menjadi indah.

Selalu jaga senyummu untukku. Seperti aku selalu menjaga senyumku di sini. Selalu ... seperti yang kau ajarkan padaku. Itsumo made ni mada shinjite iru.



#mykenshin
#endofchapter

Viandra
Bandung 050518