Kamis, 01 Maret 2018

Hujan

      Aila bergegas menyuapkan sendok terakhir. Mendung mulai menyergap sore. Lima menit saja dia bertahan di tempat itu, sudah dipastikan akan tertahan hujan.

"Neng, tunggu sampai hujannya turun saja!" Cegah si penjual bubur ketika melihat Aila beranjak dari bangku.

Aila menggeleng berterima kasih. "Doakan saja tidak kehujanan, Pak!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, Aila melangkahkan kaki ke sebuah gang. Lorong gang itu terlihat panjang tak berujung. Entah karena pengaruh aura hujan di penghujung hari, atau mungkin hanya perasaannya saja. Aila merapatkan jaketnya, berjalan dengan langkah diatur, berusaha agar tidak menginjak air yang mulai membentuk genangan-genangan kecil. Hujan mulai berkamuflase menjadi jarum-jarum ukuran besar. Membuat bentuk sempurna kain kerudungnya jadi tak beraturan.

"Neng! Kenapa hujan-hujanan?" Tiba-tiba seorang bapak yang tengah menyapu air hujan di terasnya menegur.

Aila terkesiap. Jauh di pikirannya, akan ada orang di pekarangan rumah di saat hujan mulai menderas.

"Mau pakai payung, Neng?" Bapak itu bertanya kembali, tanpa memberi kesempatan Aila menjawab tegurannya yang pertama.

Aila tercenung, langkahnya melambat. "Terima kasih, Pak. Biar nanti saya berteduh saja di depan, "jawab Aila. Masih tak habis pikir, bagaiman bapak itu bisa bermurah hati pada orang yang tak dikenalnya.

Melempar senyum sebagai tanda terima kasih pada kebaikan bapak itu, Aila mempercepat langkahnya. Lorong gang itu masih terlalu panjang dan jauh baginya. Entah dia akan bisa berteduh dengan 'selamat' entah tidak di tengah curah hujan yang memadat itu. Semakin ujung lorong mendekat, semakin butiran hujan membesar. Dan hujan pun turun dengan lebatnya, tepat ketika Aila menjejak teras sebuah taman kanak-kanak.

     Pintu taman kanak-kanak terbuka. Tapi tak tampak seorang pun di dalamnya. Sementara itu hujan semakin deras. Beberapa orang berlalu di depan TK begitu saja tanpa ada niat untuk berteduh. Padahal debit air hujan telah membuat genangan air yang cukup tinggi di gang kecil itu.

Tiba-tiba Aila dikejutkan sebuah suara. "Neng, di sini saja berteduhnya!" Seorang bapak tua di seberang TK menyapa.

"Terima kasih, Pak!" Aila tersenyum. Namun bergeming di tempatnya. Ada rasa risih menerima ajakan bapak itu.

"Ayo sini, Neng!" Ajaknya lagi. Dibukanya pintu pagar rumahnya. Ia mempersilahkan Aila untuk masuk dan berteduh. Melihat Aila tetap bergeming, bapak itu akhirnya masuk ke dalam rumah.

Aila merasa kurang enak ikut berteduh di rumah orang yang sama sekali tak dikenalnya. Walau ia akui udara dingin mulai menyergap seluruh tubuhnya.

"Neeng ... ayo siniii!" Tiba-tiba seorang ibu memanggilnya. Rupanya bapak tua itu memanggilnya istrinya untuk mengajak Aila berteduh.

Aila tersenyum. Mau tak mau ia membiarkan kakinya menyebrangi gang kecil itu dan masuk ke pekarangan rumah mereka.

"Duh, Bu ... saya jadi merepotkan nih." Ucap Aila sambil menyalami mereka.

Ibu pemilik rumah itu tertawa renyah. Aila kemudian dipersilahkan duduk di kursi yang ada di teras rumah itu. Rumah yang nyaman, entah mengapa--meja dan kursi di teras itu seolah sengaja disediakan untuk sering diduduki.

'Pasangan yang ramah, 'Aila membatin. Mereka bertiga terlibat pembicaraan ringan sampai tak terasa waktu menunjukkan magrib. Hujan tampaknya belum mau bersahabat di senja itu. Curahnya mulai berkurang, tapi tetap meneteskan air yang cukup padat.

"Bu ... Pak, sepertinya saya harus pamit sekarang, "Aila berpamitan pada mereka.

"Tadinya, Neng mau bapak ajak ngaji bareng sama anak-anak ...," timpal bapak pemilik rumah.

Sementara itu anak-anak mulai berdatangan. Hujan rupanya tak menyurutkan mereka untuk mengaji. 'Subhanallah, 'Aila bertasbih--terharu.

"Lain kali, Insha Allah Pak, "Aila tersenyum.

Ibu pemilik rumah bergegas menyalami Aila. "Neng, ini pakai saja payungnya. Hujannya masih lebat!" Sambil menyodorkan payung ke tangan Aila.

Entah apa yang tengah Allah ceritakan pada Aila hari itu. Ia hanya bisa tersenyum terharu menerima kebaikan mereka.

"Besok pagi saya kembalikan Bu, "terbata menahan haru dan dingin--Aila menerima payung itu.

"Assalammu'alaikum..., "Aila mengucapkan salam, berpamitan.

Menjejak langkah di genangan yang memenuhi jalan--Aila terpana akan keindahan ikhlas. Mungkin bagi pasangan tua itu hanya sekedar memberi tempat berteduh dan meminjamkan payung saja. Tapi bagi Aila itu serupa oase di kegersangan hati.

Hujan sore itu memberi begitu banyak cerita. Mulai dari awal hingga akhir lorong gang. Ditegakkan wajahnya, menembus rintik padat hujan--menatap langit. Memuja Sang Pencipta dan para malaikatnya. Dan rindu itu membuncah. Rindu dimana ia berdua saja dengan Sang Maha Pengasih. Aila--dan hujan di penghujung senja.




Bandung 010318