Selasa, 23 Agustus 2016

Nikita Diary1

       Jenuh...terasa begitu berat pundak dan otak ini. Beban tak kasat mata melingkupi seluruh persendian mengkakukan gerak langkah..terasa begitu hampa dan dangkal. Ya allah kulupakan lagi dhuhaku hari ini. Berjalan tergesa mencari sejumput dunia yang tak kunjung teraih kedamaiannya. Karena ini bukan tujuanku. Segala persoalan menumpuk, menusuk dari berbagai sudut membuat terperangkap dalam dimensi kehampaan. Berjalan seperti tak berjalan, berpikir seperti tak berpikir. Dimana aku ?
         Dan hari ini betapa tergesanya berlari mengejar waktu sesaat untuk meraih kejayaan dunia. Tercenung melihat betapa hilir mudiknya manusia-manusia, berseliweran, berpapasan tapi tak menyapa, berpapasan tapi tak ada kontak mata, berpapasan tapi hanya tertuju pada dirinya sendiri. Dan aku termasuk didalamnya. Dikatakan bekerja adalah ibadah, tapi sekiranya bekerja menyurutkan waktu beribadah siapakah yang patut disalahkan? Dan aku tercenung karenanya.
         Berjalan perlahan di pasar tradisional, tertunduk, berhimpitan dengan penuhnya manusia yang sibuk berbelanja. Bahkan doa masuk pasarpun terlupakan olehku. Berat segala tekanan persoalan serasa memagnetkan telapak kaki ini ke tanah bumi. Berat untuk melangkah. Terlihat mereka yang begitu sibuk berdagang, sibuk berbelanja. Dan aku aura tak terlihat di tengah kerumunan. Ya allah betapa meletihkannya semua ini.
      Tapi mereka begitu ceria, begitu hangat dalam percakapan, hanya aku saja yang terbentur dalam tindakan. Mulai tergerak dalam pertanyaan, aku yang membuat masalah ataukah masalah yang bermasalah? Terusik langkah pelan seorang disabilitas, tertatih menjinjing bantal datar. Mataku melihat setiap langkahnya, mengikuti geraknya yang seolah mencari sudut kenyamanan. Tertegun ketika dihamparkannya bantal itu di lantai pasar. Duduk ia diatasnya dan mulai mengasongkan telapak tangannya. Tapi ia tak mengeluh. Dan aku yang berkaki utuh masih saja mengeluh.
          Hiruk pikuknya pasar kembali terpecah suara sholawat badar. tak tersadar kuikuti setiap lantunannya dengan khidmat. Sejuk sungguh ada sedikit celah kekosongan yang terhangati. Teringat betapa sholawat itu yang selalu menemaniku di setiap sepi datang...dahulu. Kembali hati ini tercekat melihat sumber suara, seorang bapak tuna netra dan pasangannya yang juga tuna netra, berjalan perlahan di tengah penuhnya pasar. Sholawat badar begitu jelas terlantn dari bibirnya. Aku terpukul. Sehatnya mataku tak sebanding lurus dengan segala persoalan biaya hidup. Teringat betapa selalu tergesanya membaca al quran, yang aku patok selembar sehari itupun dengan terburu-buru. Ya allah ada apakah dengan dunia ini sehingga menyita begitu banyak waktuku denganmu.
       Aku yang sedang mencoba menjumputi keakuanku yang berserakan di kesibukan yang menghampakan. Setengah perjalanan pulang tersimpulkan permasalahan terpaparkan begitu lebar karena syukur yang terpinggirkan. Apa yang kurang dariku, apa yang terasa begitu memberatkan bila ternyata selalu ada sajadah tempat meletakkan segala berat beban. Bila ternyata selalu ada yang melihat dan mendengarkan. Bila ternyata selalu ada memenuhi dan mencukupi. Bila ternyata selalu ada yang menjaga dan melindungi. Kau cukup beribadah dan AKU yang akan mencukupi segalanya. Bila ikhlas telah mengabur segala hal akan terasa berat. Astaghfirullah....Aku dan rasa syukur yang mengabur...Astaghfirullah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar