Minggu, 22 April 2018

Maze - Mia


      Mark menghentikan langkahnya tepat di ujung labirin. Taman dalam yang dipenuhi genus privets itu tampak dingin tak terurus. Semak teh-tehannya mulai terlihat tak simetris. Bergeming, Mark mencoba menangkap siluet gadis bergaun biru itu. Namun, tepi gaun syfhonnya yang lebar pun tak berbayang. Bangku taman membeku di pagi yang sunyi. Hanya decit ayunan besi terdengar sesekali. Bergoyang pelan didorong angin kemarau, tanpa Mia pemiliknya.

                                                                ************


"Pagi, Tuan!" para pelayan wanita yang tengah membersihkan lorong sayap barat menyapa.

Mark melempar senyum. Memberi isyarat pada mereka agar melanjutkan pekerjaannya. Ia tak begitu suka dengan lorong rumah bagian barat ini. Menurutnya, deretan lukisan abad pertengahan membuat suasana semakin suram. Tergesa ia meraih knop pintu yang menghubungkan sayap barat dengan taman belakang.

"Hai, Mark! Ayo gabung!" Sam sahabatnya berseru dari dalam kolam renang.

Mark mengernyit. 'Bukan waktu yang tepat untuk berenang ...' pikirnya. Ia melambai pada Sam. Dilihatnya David si dokter keluarga duduk di tepi kolam renang. Jemarinya lincah memijit tombol-tombol telepon genggam. Sepagi ini ia telah sibuk dengan para wanita dunia mayanya. Mark tersenyum melihat tingkah sahabat-sahabatnya itu.

Dengan cepat dilintasinya taman. Menuju sayap timur rumah. Ia memerlukan Pierre sang koki saat ini.

"Pierre!" serunya lega. Seketika aroma pancake menyergap hidungnya ketika memasuki ruang dapur.

Pierre mendengus, "Jangan ganggu aku!" tukasnya. Jemarinya yang gemuk sibuk memilah daun selada segar.

Mark tersenyum lebar. Mengganggu Pierre adalah petualangan pertama yang selalu dilakukannya bersama Mia di setiap pagi.

"Nanti malam di perpustakaan sayap barat, oke?" Mark menatap tajam Pierre.

Pierre meletakkan pisau masaknya. Enggan jelas tergambar di raut wajahnya. "Kau yakin dengan semua ini?" balik bertanya pada pemuda tampan di hadapannya.

Mark mengangguk, "Pastikan setelahnya kita makan steak terenak di kota ini!" tegasnya. Mata Mark menyapu bahan-bahan yang akan diolah Pierre.

Pierre meringis, "Pastikan Kau masih punya selera makan setelahnya!" timpalnya. Meraih kembali pisau, melanjutkan pekerjaannya.

Mark hanya tertawa. Ia tahu percuma saja menjawab Pierre yang sedang kesal. Koki itu mengganggap keinginannya tak masuk diakal.

      ******************


Malam itu sedikit basah karena kabut tebal. Pierre, Mark, Sam dan David duduk mengelilingi sebuah meja kecil. Papan Ouija telah diletakkan Pierre di tengah meja. Berikut dengan lilin merahnya. Sam mulai mengeluarkan pisau lipat antiknya. Memutar-mutarnya di antara jemari.

"Hentikan itu!" sergah Mark dengan suara tertahan. Tambah tegang hatinya melihat sahabatnya memainkan pisau lipat itu.

Sam tertawa pelan. Ia selalu bercanda dengan pisaunya bila tertekan. Dilihatnya David duduk dengan gelisah. Aneh rasanya melihat ia tanpa telepon genggam di tangannya.

"Pintu-pintu kaca harus dibuka!" Pierre beranjak dari kursinya. Langkahnya tertahan oleh seruan Mark.

"Jangan! Biarkan saja tertutup!" perintah Mark tegas. Dilihatnya Pierre menggigit bibir. Menahan semburan protes.

Pierre melayangkan pandangan pada wajah-wajah tegang di sekelilingnya. "Kita mulai ... " disodorkannya secarik kertas berisi mantera pemanggil ke tengah meja.

"Spirit, spirit of the coin. Spirit, spirit of the coin. Spirit, spirit of the coin. Please come out and play with us!"

Mereka menempelkan telunjuk pada papan kecil berlubang. Memutarnya sangat pelan di atas papan ouija. Berulang kali merapalkan kembali manteranya. Keringat dingin mulai mengalir di wajah mereka. Mark sedikit menyesal karena melarang pintu kaca dibuka tadi. Entah mengapa pengap tiba-tiba merangsak. Beberapa kali ia kehabisan oksigen sebelum manteranya selesai.

Tiba-tiba api lilin bergoyang. Awalnya tak kentara. Tapi kemudian bergoyang cepat seolah ada yang meniupnya. Papan berlubang itu mulai terasa berat. Berat ... dan semakin berat.

"Mark ..." sebuah bisikan mengagetkan Mark. Hawa dingin merayapi punggungnya. Dengan gugup ditatapnya wajah-wajah tegang yang sedang merapal mantera. Tampaknya mereka tak sadar ada sebuah suara.

"Mi mia?" tanyanya tegang. Sontak ketiga wajah itu memandangnya ketakutan.

Tiba-tiba papan berlubang itu bergerak ke simbol "yes". Jemari-jemari di atasnya bergetar hebat--ketakutan. David mendadak ingin menyudahi permainan. Tapi kemudian ia teringat perkataan Pierre. Permainan harus di selesaikan, jangan sampai si arwah diam menetap dan menghantui si pemanggilnya. Keringat dingin mengalir deras di wajahnya. Ia sama sekali tak ingin berjumpa dengan Mia.

Sam duduk dengan tegang. Didengarnya Mark mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Papan berlubang itu berpindah pelan dari simbol "yes" dan  "no" silih berganti. Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika mendengar pertanyaan Mark yang kelima kalinya.

"Mia, apakah Kau ingin menyampaikan sesuatu pada orang yang Kau cintai?" Suara Mark bergetar. Kerinduan pada adik kembarnya itu membuncah seketika. Ia yakin Mia pun merindukannya.

Papan berlubang itu diam tak bergerak. Mark mengulangi pertanyaannya. Hingga yang ketiga kalinya hendak ia ucapkan, tiba-tiba bisikan itu terdengar lagi.

"Jangan Mark! Jangan tanyakan ..." bisikan itu hilang tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya. Digantikan oleh sosok yang tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka.

"Ya Tuhan!" pekik Pierre. Nyaris terjatuh karena menabrak kursinya yang terguling.

Pierre mundur merapat ke rak-rak buku. Tanpa dikomandoi Mark dan kedua sahabatnya mengikuti. Tubuh mereka bergetar hebat. Otak Mark terasa tumpul karena takut yang sangat. Kakinya lemas. Dirasakannya tangan Sam yang meremas pergelangannya. Dingin dan lembab oleh keringat.

Mia berdiri di hadapan mereka. Pendar dari gaun birunya menambah eksotisme kebengisan wajahnya yang pucat. Papan berlubang itu bergerak pelan--sangat pelan, ke simbol "yes". Mereka berempat bertatapan gugup. Berdiri saling merapat. Jelas tergambar roman-roman menyesal di wajah mereka.

"Itu bukan Mia ..." desis Mark panik. Panik semakin mendera ketika tiba-tiba saja Mia menghilang dan muncul dalam hitungan detik tepat di hadapan mereka.

"Lari Mark!" bisikan itu terdengar jelas di gendangnya. Kakinya terasa lemas tak bisa menerima perintah dari otaknya. Mark bergeming menatap nanar mata Mia yang memerah.

Pierre tahu harus segera ke tempat terbuka. Tanpa menunggu jeda detik berikutnya ia menarik kencang lengan Mark. "Lari tolol!" ditariknya lengan Mark dengan kasar. Dibukanya pintu kaca kemudian berlari sekencang-kencangnya melewati lorong.

     Mark tersadar dari takut yang menguasai. Diikutinya Pierre yang berlari kencang. Kedua kakinya mendadak terasa ringan digerakkan. Berlari dengan cepat melewati lorong sayap barat. Jantungnya berdentam kencang. Oksigen begitu tipis di paru-parunya. Siluet lukisan pertempuran abad pertengahan berlarian di pelupuknya. Suara panik sepatu begitu kentara di lantai marmer. Sosok Pierre semakin mengecil di depannya. Tiba-tiba saja udara sedingin es menusuki punggungnya. Senyap menguasai seluruh lorong. Dilihatnya  Pierre menghilang di balik pintu penghubung. Mark berhenti berlari. Hampa yang aneh mulai menjalari darahnya. Ia membalikkan badannya. Sosok Astral itu berdiri di hadapannya. Wajah pasi yang cantik. Mata bengisnya seolah berkata siap menghabisi mangsa yang kini terpaku diam.

"Mia ..." mark memaksa suaranya keluar. "Apa yang ingin Kau katakan padaku?" suaranya semakin tak kentara ditimpa deru napas panik.

Mia menatap Mark dengan mata merahnya. Tiba-tiba saja tubuhnya menyurut cepat ke belakang Sam. Sam yang terhenti larinya karena kemunculan Mia--diam mematung. Jantungnya mencelus ketika menyadari Mia berpindah tempat tepat di belakang punggungnya.

 "Dia bukan aku ..." bisikan itu terdengar lagi di gendang telinga Mark. Gelenyar panik berdenyut di tiap nadinya ketika melihat seringai di wajah Mia. Dilihatnya Sam meraih pisau lipatnya dengan tegang.

"Hentikan ... Ku mohon hentikan ..." desis Sam. Matanya nanar menatap Mark--memohon pertolongan. Lengannya kebas. Ia tak dapat merasakannya, tak kuasa mengendalikannya. Mia membuat ia meraih pisau lipat di saku. Entah sihir apa yang menguasai dirinya. Jemarinya berusaha melawan agar mata pisau itu tak terbuka. Tapi kontrol akan tubuhnya hilang. Mata pisau itu terbuka--sekuat tenaga Sam berusaha menahannya agar jauh dari urat lehernya. Sia-sia semua perlawanannya. Pisau itu menyentuh nadi di lehernya dengan cepat. Dingin peraknya membekukan aliran darah Sam.

"Jangan Mia! Hentikaan!" jeritnya.

Ujung mata pisau membuat torehan kecil di leher Sam. Tepat di nadinya. Suara jeritannya terputus disaat darah segar menyembur. Tubuhnya tersungkur ke lantai. Pendar pualam dari marmer mulai berubah warna--jadi merah darah.

Mark terpaku. Dilihatnya Sam menyentuh lehernya dengan mata pisau. Kengerian membuat otaknya tumpul. Ia tahu Sam memohon bantuannya. Tapi tubuhnya diam tak bergerak. Terhipnotis seringai Mia yang menyeramkan.

"Sammy!" pekiknya. Darah segar menyembur dari leher sahabatnya itu.

Mia tertawa. Suara tawanya terdengar seperti nyanyian pilu di telinga Mark. Ia menghilang bersamaan dengan jatuhnya Sam ke lantai. David terlihat sangat terpukul. Ia jatuh terduduk di belakang Sam. Tubuhnya bergetar karena takut yang sangat. Darah segar semakin melebar--melingkari jasad Sam.

                                                           ****************

"Ini harus segera diselesaikan!" pierre merapikan posisi papan ouija. Lilin merah tinggal setengahnya lagi. Cahayanya menari-nari di ruang perpustakaan yang mencekam.

"Itu bukan Mia ..." desis Mark. Matanya menatap nanar papan ouija.

David menggigil di kursinya. Bola matanya gelisah menelisik seluruh ruangan. Keringat dingin membanjiri wajah pucatnya.

Pierre menatap Mark dengan prihatin. Menemukan adik kembarnya dengan torehan di nadi lengannya saja, sudah dipastikan membuatnya terpukul. Dan sekarang sahabatnya melakukan hal serupa dengan nadi di lehernya. Pierre mengeluh dalam hati mengingat usahanya membujuk Mark dan David untuk kembali ke perpustakaan. Menyelesaikan permainan yang seharusnya tak pernah dimulai.

"Buka semua pintu kaca!" Perintahnya. Kali ini Mark tidak protes. Ia paham udara terbuka dibutuhkan untuk menetralisir aura negatif arwah yang dipanggil.   

Mereka bertiga mengelilingi meja dengan papan ouija di tengah-tengah. Masing-masing jari telunjuk menyentuh papan kecil berlubang. Menggerakkannya pelan.

"Mia ..." Pierre memanggilnya. Papan mulai terasa berat.

"Kau harus pulang!" suara Pierre bergetar menahan denyut ngeri.

Papan kecil bergerak. Namun terhenti di tengah-tengah simbol matahari dan bulan. Mereka berpandangan panik ketika menyadari papan kecil itu tak mau digerakkan.

"Kau harus pulang Mia! Aku yang akan menyelesaikan semuanya!" tiba-tiba suara Mark memecah keheningan.

      Api lilin bergoyang kencang. Hampir padam. Papan kecil itu sekilas terasa lebih ringan. Pierre dengan matanya memberi isyarat pada Mark dan David. Dengan gemetar mereka menggerakkan papan ke huruf  "home" dan menggerakkannya lagi ke huruf  "good bye". Papan mulai terasa berat ketika hendak menuju huruf kedua. Sekuat tenaga mereka mendorong dengan telunjuk. Pierre kemudian meniup lilin dengan cepat ketika mereka akhirnya berhasil menyentuh huruf kedua. Asap lilin membumbung. Bau api padam memenuhi ruangan. Hampa yang aneh itu berangsur hilang. Suara kokok ayam sayup terdengar. Menandakan waktu awal fajar telah tiba.

"Sudah selesai ..." suara Pierre terdengar lega. Ditepuknya bahu Mark dan David.

Mark menutup wajahnya. Airmata keluar dari sela jemarinya. Mulutnya terkunci tak dapat menceritakan bisikan yang didengarnya.

                                                              *****************

      Aparat hilir mudik di sayap barat kediaman keluarga Buttler. Mark mengaduk kopinya perlahan. Otaknya berdentam mencoba merangkai peristiwa. Matanya menangkap sosok David yang digelandang aparat. Mereka memasukkannya ke dalam mobil. Menetapkannya sebagai saksi sekaligus tersangka. Mark membolak-balik buku harian Mia yang ditemukan aparat di lemari Sam. Tangannya yang bersarung tangan membalik halaman demi halaman dengan gugup. Matanya mencari halaman terakhir catatan harian adiknya itu. Ia tertegun ketika matanya menangkap halaman yang diawali dengan namanya.

Dear Mark ... maafkan aku telah mengecewakanmu. Kau telah berkali-kali mengingatkan agar aku selalu terbuka padamu. Aku berdusta  mengatakan tak dekat dengan siapapun. Aku menyembunyikan hubunganku dengan Sam darimu. Aku terpesona olehnya. Hingga suatu hari terbangun dengan "kebanggaanku" yang hilang. Aku terbius entah oleh apa sehingga tak sadarkan diri. Dan aku terpukul ketika mengetahui Sammy telah meminta bantuan David untuk membuatku hancur. Kudengar ia mengatai diriku sebagai "gadis Buttler murahan". Ia ingin menikahiku dan mengambil alih semua harta warisku. Kemudian ia akan meninggalkanku. Aku akan "menghilang" dengan janin yang kukandung. Takkan kubiarkan Sam menghancurkan generasi
Buttler. Maafkan aku Mark.

Mark meninju udara. Tubuhnya menggigil menahan amarah. Jelas sudah mengapa permainan semalam jadi berubah alur. Ketika pertanyaan kelima diajukannya. Mia menjawab. Dan yang dimaksudnya adalah Sam, bukan dirinya. Kecewa dan marah bercampur di dadanya.

"Ini steakmu ..." Pierre menyodorkan piring berisi steak dan kentang goreng.

Mark menatap tak bernafsu hidangan di hadapannya. Ekor matanya menangkap sekelebat tepi gaun berwarna biru di ambang pintu.

"Kau benar, Tuan. Itu bukan Mia ... tak mungkin gadis semanis dia berubah jadi makhluk keji." Pierre tersenyum menghibur. "Besok akan kuminta petugas taman untuk membersihkan taman labirin ..."

Lagi-lagi Mark diam tak menjawab. Matanya mengikuti sosok Mia yang berlari riang menuju ayunan di taman labirin.

"Dia yang pulang, Mark. Aku tetap tinggal di sini bersamamu ..." bisik Mia semalam di telinganya.
   
       ******************


#Ouija: papan pemanggil arwah. Berasal dari China. Papan kayu datar bertuliskan huruf dari A sampai Z, angka 0 sampai 9, simbol matahari dan bulan. Terdapat juga kata "yes", "no", "home" dan "good bye".
#Genus privets: jenis tanaman pagar


Bandung 210418
Pembawa Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar