Selasa, 27 Februari 2018

Kisah Sebuah Suvenir

      Evi menatapku lekat. Jelas sudah ia tak puas dengan 'kencan' perdana kami di malam minggu ini. Jenuh mulai merambati wajahnya.

"Oke, kemana lagi kita?" Tanyaku menimpali pandangan kesalnya. "Cari makanan, yuk!"

Lagi-lagi sorot matanya menolak ideku. Evi memang seperti itu, terbiasa mandiri dengan pola pikirnya sendiri.

"Mending ke Pasirkoja, yuk! Ke rumah temanku saja. Besok hari pernikahannya. Jaga-jaga saja, kalau aku tidak bisa datang besok, " ajaknya kemudian.

'Nah, ini dia ... kalau sudah ke rumah temannya, yah sudahlah ....' batinku mengeluh diam-diam.

Akupun mengangguk sambil lalu. Menonton raut wajah senang karena menang. Yah, pada akhirnya mau tak mau penumpang harus mengalah pada pengemudi bukan? Selalu seperti itu akhirnya setiap kami pergi berdua.

******************

"Jangan katakan kamu lupa rumahnya!" Sorotku tajam.

Evi tertawa renyah. Bagi dia mungkin lucu, tapi tidak bagiku. Dan hari ini terulang lagi, ketika pada akhirnya kami harus berulang kali turun dari motor dan menanyakan alamat. Akhirnya dengan peluh di wajah, kami berhasil menemukan tujuan yang di maksud.

      Ruang tamu itu telah beralih fungsi. Sensasi berantakannya sama sekali tak mengganggu. Aku senang dengan segala ornamen yang tergeletak di karpet. Yang menumpuk di kursi tamu. Yah, tercium aroma pesta pernikahan yang sangat di ruang itu. Senang hati, 'ku duduk di antara taburan suvenir di karpet.

"Silahkan pilih ... silahkan pilih hahaha ..., "Evi tertawa riang.

Ternyata ia pun merasakan sensasi yang sama denganku. Pesta pernikahan sangat agung bagi kami para wanita. Tak lama kemudian pengantin wanita berbaur, ikut tertawa senang bersama kami.

"O, ya, kenalkan ini Aila .... teman teteh, "ucap Evi kemudian.

Aku menyambut senyum si pengantin. Senang sekali melihat wajah bersinarnya. Entah kenapa aura pengantin wanita selalu tampak lebih cantik.

"Jangan lupa pisahkan bunga melatinya untuk Evi, Dek! Ucapku. Mataku menggoda Evi yang pura-pura tak mendengarkan.

Ica tergelak melihat canda kami. Dengan cekatan ia mengeluarkan suvenir-suvenir yang belum di bungkus.

"Ayo teteh, pilih saja!" Dengan baik hatinya ia menebarkan suvenir-suvenir itu di karpet.

"Awas Ailaa ... dua saja yah! Jangan banyak-banyak!" Evi menggodaku yang tengah asik memilah.

Pura-pura tak mendengarkan aku kosentrasi memilih. 'Ini menyenangkan!' Aku memang sedang membutuhkan bros untuk mempercantik kain kerudung. Dan karena kebaikan hati Ica, aku mendapatkan yang diidamkan. Bros bunga kain berwarna putih tulang. Warna netral yang senada dengan warna wajahku.

**********************

        Trans Studio Mall selalu terlalu luas untukku. Dan sore itu ia tampak mewah di latar langit mendung. Hari itu, dengan kostum santai terbaikku. Lengkap dengan bros hadiah dari pengantin. Sengaja aku mampir di pusat perbelanjaan itu sekedar melepas penat. Tiba-tiba alunan azan menyadarkanku. Bergegas aku menuju lantai tiga.

"Mukenanya dipinjam semua, Teh, "penjaga penitipan barang itu menjawab pertanyaanku.

Entah sudah berapa kali aku meninggalkan perlengkapan terpenting itu di rumah. Akhirnya terpaksa aku mengantri. Dan sama sekali tak senang melakukannya. Tak senang, karena sewaktu 'berburu' mukena berarti aku harus hati-hati jangan sampai melewati yang tengah sembahyang.

Mengantri mukena dan sekarang mengantri cermin. Wanita dengan feminismenya yang kuat seringkali membuatku kesal. Menurutku yang cenderung asal-asalan dalam penampilan, mengantri cermin adalah hal konyol. Dan semakin terasa konyol lagi ketika belum semenit bercermin, ada belasan pandangan mengantri yang menusuki punggung. Jengah rasanya, ketika tengah bergelut dengan peniti diadili oleh tatapan kesal.

"Teh, maaf ... ada jarum lebih gak yah? Punyaku hilang, "tegur seseorang.

Aku meneliti pantulan bayangannya di cermin. Jelas- jelas pemandangan yang membuat kasihan. Berdasar pengalaman, kehilangan jarum itu sangat memicu adrenalin. Wanita berkerudung hijau itu menatap penitiku penuh harap.

"Ini ... pakai bros ini saja, Teh! Aku memungut bros putih tulangku dari karpet mushola.

Memang sengaja kuletakkan di situ. Aku mendadak tak bisa berpikir, gara-gara sejumlah pandangan kesal yang tengah mengantri cermin.

"Eh, jangan bros itu Teeh ... kan itu punya Teteh. Gak enak Saya, "tolaknya.

"Gak apa-apa, Teh ... pakai saja! Bujukku meyakinkan.

Rupanya ia bimbang antara mau dan tak mau. Dan akhirnya menyerah pada kenyataan. Karena toh memang ia lebih membutuhkannya daripada aku.

"Barakallah Teh ... terima kasih banyak!" Wanita itu memunggungi cermin. Tersenyum indah padaku.

Entah mengapa, aku seperti melihat aura si pengantin teman dari temanku itu di wajahnya. Aku hanya balas tersenyum padanya. 'Ah, hanya sebuah bros suvenir saja dipermasalahkan.' Dan ketika aku berbalik--seketika 'ku sadari bahwa ternyata itu bukan hanya sekedar bros. Senyum-senyum ramah menyapaku. Rupanya antrian 'pandangan kesal' itu telah berubah haluan. Senyum mereka seolah sepakat berkata, bahwa itu bukan hanya sekedar bros.

Dengan kain kerudung polos tanpa hiasan aku pun keluar dari mushola. Sekilas kulihat wanita berkerudung hijau itu tertawa bersama teman-temannya. Ia tampak cantik dengan bros putih tulangnya. Mungkin seperti 'cantik' yang pernah terpahat sejenak di wajahku juga. 'Cantik' yang ditularkan si pengantin pada bros suvenir pernikahannya.


Bandung
Cerita hari minggu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar