Minggu, 09 September 2018

Curug Cisawer

Hai, sahabat traveler sudahkah menemukan destinasi baru? Atau masih  kebingungan dengan tempat wisata yang itu-itu saja? Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Seperti yang sahabat traveler ketahui, di setiap daerah pasti saja ada destinasi keren yang layak dikunjugi. Kali ini, perjalanan ke Kota Moci tanpa sengaja menggiring ke sebuah tempat tak terlupakan. Curug Cisawer, air terjun memesona di Kecamatan Kadudampit Sukabumi.

            Sempat  bingung  waktu diajak ke curug ini. Karena  yang terpatri jelas di otak itu hanya seputar Salabintana dan Pondok Halimun saja selama ini, tentunya selain dari Pelabuhan Ratu. Ternyata Sukabumi memiliki tempat wisata yang  beragam. Salah satunya adalah Curug Cisawer di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten  Sukabumi.


Curug Cisawer

Selasa, 21 Agustus 2018

KEMBALIKAN MASA KECILKU


.
Bumiku berduka
Kala para bocah gembala
Kehilangan tawa
Di tengah dunia
.
Dia melamun,ingatannya merekam jelas
Tubuh sang bunda tertimbun, lemas
Tewas
Akibat gempa ganas
.
Kemudian dia menangkap tanya
Dimanakah langit biru di sana?
Dimanakah burung dara
Yang dulu sering hinggap di jendela
.
Taman bermainnya
Telah rata, tak bersisa
Riang dan tawa
Mendadak jadi air mata
.
Di bawah senja
Dia berdoa dalam tangisnya
Tuhan, kembalikan lagi taman mungilku
Kembalikan masa kecil indahku
.

Jember, 7 Agustus 2018

Dwi_Optimis_


Minggu, 19 Agustus 2018

DAMPU AWANG



           Dampu Awang terkenal karena kepiawaiannya sebagai pelaut. Dia pun seorang pedagang yang handal. Karena kehebatannya itu, Dampu Awang diberi penghargaan oleh kaisar China. Salah satunya, diperkenankannya dia untuk berlayar dan berniaga ke negara lain. Kemudian diceritakan Dampu Awang mendatangi Lasem untuk berniaga. Daerah perniagaannya di sekitar Pelabuhan Lasem.
            Kedatangannya disambut baik oleh penduduk Lasem. Terlebih lagi karena keramahan Dampu Awang yang disukai oleh mereka. Dampu Awang  tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekali lagi dia membuktikan kehebatannya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi dirinya untuk menjadi sukses dan menguasai  perdagangan Lasem.
            Lambat laun sikap Dampu Awang berubah. Kekayaan dan kesuksesan telah membuatnya sombong. Dia pun memperlakukan para pedagang kecil dengan semena-mena. Rupanya kelakuan Dampu Awang itu sampai  ke telinga Sunan Bonang. Lasem pada saat itu terkenal sebagai daerah yang religius. Dan Sunan Bonang adalah orang yang dituakan pada waktu itu.
            Karena banyak yang mengeluh akan kelakuan Dampu Awang, akhirnya Sunan Bonang memutuskan untuk mendatangi Dampu Awang. Dia membawa serta beberapa orang santrinya. Sunan Bonang akhirnya sampai  di kediaman Dampu Awang yang megah. Kedatangannya  disambut dua pengawal gerbang yang  tak ramah.
“Siapa kalian berani-beraninya mendatangi tempat ini?!” seru seorang pengawal.
Pengawal  yang lain pun menghina Sunan Bonang dan para santrinya. “Rakyat biasa tak diizinkan masuk ke dalam!!”
Para santri sangat marah dengan kelakuan kedua pengawal yang sombong. “Apa kalian tak kenal orang yang dituakan di  Lasem ini?” seorang santri membalas  dengan garang.
Kedua pengawal itu terkejut dengan sikap para santri yang seolah  siap berperang. Akhirnya salah seorang pengawal masuk untuk memberitahu majikannya. Dampu Awang sangat heran ketika mengetahui tamunya adalah Sunan Bonang. Dia pun memerintahkan kedua pengawalnya untuk mengizinkan mereka masuk.
“Wahai yang dituakan, apa gerangan maksud kedatanganmu ini?” Dampu Awang meyambut para tamunya dengan basa-basi.
Sunan Bonang tak ingin berbicara yang tak perlu. Dia langsung ke pokok permasalahan. “Wahai Dampu Awang, aku banyak menerima keluhan dari penduduk Lasem. Kelakuanmu yang semena-mena telah  membuat mereka  tersinggung!”
Dampu Awang memukul lengan kursinya. “Apa maksudnya ini?”
“Kau telah berlaku tidak baik pada para pedagang kecil di  Lasem!” Sunan Bonang kembali  menegaskan perkataannya.
“Kurang ajar! Mereka berkata hal yang tidak benar!” Dampu Awang rupanya tersinggung dengan kenyataan yang didengarnya.
“Pengawal usir mereka!!”
Para santri Sunan Bonang langsung bersiaga.”Hei Dampu Awang, jangan sombong kau! Kalian adalah pendatang, kami berhak  mengusir kalian kapan saja!”
Dampu Awang semakin marah mendengar perkataan para santri. Sontak pedagang itu bangkit dari kursinya. “Tak perlu  mengusirku! Kalau guru kalian itu bisa mengalahkanku, dengan senang hati aku akan pergi dari sini!” serunya lagi.
            Sunan Bonang sebenarnya tak ingin bertarung. Namun demi mempertahankan kehormatan Lasem dia pun terpaksa menerima tantangan itu. Kemudian sunan pun menceritakan kejadian di kediaman Dampu  Awang pada santri-santrinya yang lain. Ternyata mereka bersemangat  untuk ikut membela Lasem. Mereka bertekad untuk mengusir Dampu Awang.
            Keesokan pagi, kapal-kapal besar Dampu Awang mulai berlabuh di pantai Bonang dekat pondok Sunan Bonang. Mereka bersenjatakan lengkap. Sedangkan Sunan Bonang dan para santrinya mengenakan sorban putih dan memegang tasbih. Pasukan Dampu Awang memandang remeh Sunan Bonang dan para santrinya. Mereka kemudian dengan semena-mena menembakkan meriam pada pasukan bersorban itu. Santri Sunan Bonang banyak yang meninggal karenanya.
            Namun para santri itu pantang menyerah. Akhirnya mereka malah berhasil naik ke kapal-kapal besar itu. Pertempuran semakin hebat karena ternyata para santri itu petarung yang terlatih. Sementara itu, Dampu Awang yang melihat kapalnya  berhasil diambil alih jadi sangat marah. Dia kemudian mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk menyerang Sunan Bonang. Kesaktian mereka  berdua ternyata seimbang. Langit Lasem terhalang oleh jurus-jurus sakti mereka ketika berperang di  udara.
            Kemudian pada satu kesempatan Dampu Awang turun ke kapalnya. Rupanya ia ingin membantu pasukannya yang mulai terdesak oleh para santri. Sunan Bonang yang melihat lawannya terbang turun langsung merubah siasatnya. Dia pun terbang ke atas bukit Bonang. Dari atas bukit, Sunan mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk menghancurkan kapal. Kapal besar itu pun hancur dihantam ajian Sunan Bonang. Puing-puingnya berhamburan hingga ke Rembang.
            Sunan Bonang menyadari kesaktiannya berimbang dengan Dampu Awang. Akhirnya dia pun mengusulkan cara lain.
“Hei Dampu Awang! Tampaknya pertarungan ini tak akan ada akhirnya. Sekarang lihatlah jangkar kapal yang hancur itu! Jika kau berhasil membuatnya tenggelam maka kau yang  menang. Sebaliknya bila aku berhasil membuatnya terapung, maka aku yang menang.”
“Bodoh sekali dirimu membuat taruhan yang semudah itu!” Dampu Awang tertawa meremehkan Sunan Bonang.
Kemudian dia mengerahkan ajiannya sambil meneriakkan kata “kerem” yang artinya tenggelam. Sementara Sunan Bonang meneriakkan kata “kemambang” yang berarti terapung. Terus seperti itu hingga jangkar turun naik dengan cepat akibat ajian dari keduanya. Sampai akhirnya jangkar itu “kemambang”. Walaupun Dampu Awang meneriakkan “kerem” berkali-kali, tetap saja benda itu terapung.
            Akhirnya Dampu Awang mengakui kekalahannya. Dia dan pasukannya keluar dari Lasem menuju Semarang. Sunan Bonang kemudian menamai tempatnya bertarung “Rembang”. Sebagai tanda mengenang peristiwa “kerem” dan “kemambang” jangkar kapal. Adapun puing-puing kapal yang berhamburan kelak dikenang dengan nama-nama tertentu. Layarnya yang membatu dinamai Bukit Layar. Tiangnya menancap dekat pasujudan Sunan Bonang. Adapun lambungnya tengkurap dan dinamai Gunung Bujel.
***

Minggu, 29 Juli 2018

Ustad dan Tiga Pemuda


Pak Andi tinggal di sebuah desa kecil yang kaya akan hasil bumi dan peternakan. Seperti layaknya penduduk Desa Ciherang lainnya, ia pun memiliki sawah garapan dan hewan ternak. Sayangnya, usia yang renta tak bersahabat dengan semangat hidupnya. Sakit karena tua mulai menghambat kesibukannya. Sadar takdir tak dapat diramal, ia pun berencana membagi warisan pada tiga anaknya.

Dwi, Dhio dan Alvi adalah tiga putra kebanggaannya. Dan bapak tua itu ingin membagi tujuh dombanya dengan rata kepada mereka. Tujuh domba dengan milyaran kebijaksanaan yang ia selipkan di dalamnya. Suatu hari, diujung napasnya bapak tua itu memanggil ketiga anaknya.

"Ujang kadarieu sakedap," panggil Pak Andi. Suaranya putus-putus hampir tenggelam disuara serangga malam.

Sontak ketiga pemuda itu beranjak dari tikar anyaman. Mendekati Pak Andi yang sedang bergumul dengan sakaratul maut.

"Aya naon bapa?" sahut Dwi pelan. Didekatkannya bibirnya ke telinga ayahnya itu.

Dhio dan Alvi duduk bersimpuh mengelilingi pembaringan ayah mereka. Dengan khidmat bersiap mendengarkan amanat Pak Andi.

Pak Andi berusaha mengumpulkan napasnya. "Bapa tidak punya apa-apa. Sawah kalian garap sama-sama, hasilnya harus dibagi rata."

Dwi sebagai anak tertua mencatat amanat ayahnya itu diingatannya.

"Domba oge ngan aya tujuh," lanjut Pak Andi, "Bagi adilnya Dwi ... setengah untukmu, seperempat untuk Dhio dan seperdelapan untuk Alvi."

Kening ketiga pemuda itu berkerut ketika  mendengar kata 'bagi adilnya Dwi'. Sedangkan domba-domba itu berjumlah ganjil. Sayangnya mereka tak sempat bertanya. Ayah mereka menghembuskan napas terakhir bertepatan dengan adzan awal.

Sepeninggal Pak Andi, ketiga pemuda itu jadi sering bersitegang. Mereka kukuh dengan pendapat masing-masing.

"Kita jual saja ketujuh domba itu. Hasilnya baru kita bagi sesuai amanat bapa!" tandas Dhio.

"Aku tak setuju!" tukas Alvi, "Amanat bapa membagi domba bukan membagi uang!"

Dwi sebagai anak tertua berusaha memberikan saran terbaik. "Kita biarkan saja domba-domba itu beranak hingga berjumlah genap," ujarnya kemudian.

"Itu terlalu lama!!" seru Dhio dan Alvi bersamaan. Mereka tak setuju dengan saran Dwi.

Percekcokan itu jadi hiburan baru bagi penduduk Desa Ciherang. Mereka pun sama bingungnya dengan ketiga pemuda itu.

Hingga suatu hari lewatlah seorang ustad dan muridnya ke desa itu. Mereka berdua pengembara yang bermaksud beristirahat sejenak di desa yang sejuk itu. Ustad Dirsya terkenal dengan kebijaksanaannya. Sedangkan muridnya Saivul, seorang pemuda lugu yang sangat taat beribadah.

Penduduk desa menyambut kedua pengembara itu dengan ramah. Bahkan tetua desa meminta sang ustad untuk menasehati ketiga pemuda yang bersiteru terus itu. Tetua desa yakin dengan kebijaksanaan yang dimiliki Ustad Dirsya, masalah tujuh domba ini bisa diselesaikan. Dan Desa Ciherang akan kembali tenang tanpa suara-suara cekcok.

Ustad Dirsya menyanggupi permintaan tetua desa. Setelah cukup beristirahat, ia dan muridnya pergi mendatangi kediaman almarhum Pak Andi. Di tempat itu ia mendapati ketiga putra Pak Andi sedang bersitegang di dekat kandang domba.

"Assalammu'alaikum!" ustad Dirsya mengucapkan salam.

Dwi, Dhio dan Alvi dengan gugup menjawab salam Ustad Dirsya. Rupanya kemunculan tiba-tiba guru dan murid itu membuat mereka terkejut.

"Punteun, bapak siapa yah?" Dwi spontan bertanya mewakili kedua saudaranya.

"Panggil saja pa ustad!" jawab Ustad Dirsya. Suaranya yang dalam membuat ketiga pemuda itu tak berani bertanya lagi.

"Saya diminta tetua desa datang kemari. Katanya kalian kesulitan membagi warisan karena berjumlah ganjil." ucap Ustad Dirsya melanjutkan.

Ketiga pemuda itu kemudian berebutan menceritakan amanat ayah mereka. Ketujuh domba itu benar-benar membuat mereka pusing.

Ustad Dirsya tersenyum-senyum mendengar cerita mereka. Sedangkan Saivul muridnya terlihat sama bingungnya dengan ketiga pemuda itu. Keluguannya tak mampu mencerna pesan sesungguhnya dari Pak Andi.

"Sok sekarang ikat ketujuh domba itu di pagar bambu!" Ustad Dirsya memerintah sambil menunjuk pagar yang membatasi rumah Pak Andi dengan tetangganya.

Ketiga pemuda itu pun menuruti perintahnya tanpa banyak tanya.

"Sok ikat juga si Saivul!" perintah pak ustad itu lagi.

"Abdi??" Saivul menunjuk dirinya sendiri dengan heran.

Ustad Dirsya mengangguk tegas. Lagi-lagi ketiga pemuda itu menuruti perintahnya. Sekarang yang terikat di pagar bambu itu tujuh ekor domba ditambah satu orang Saivul. Bila dijumlahkan jadi genap delapan.

"Sok Dwi ambil setengah bagianmu!" perintah pak ustad.

Dwi bergegas mengambil empat ekor domba.

"Ayeuna kamu Dhio. Ambil seperempat bagianmu!"

Dengan sigap Dhio mengambil dua ekor domba.

"Tah Alvi ambil seperdelapan bagianmu!"

Setengah berlari Alvi menuju pagar bambu. Kemudian dia membawa seekor domba.

"Nah, sekarang kalian masing-masing sudah mendapat bagian kan?" Ustad Dirsya bertanya dengan nada menggoda.

Ketiga pemuda itu mengangguk sambil berusaha mencerna apa yang terjadi.

"Pa ustaaad ... abdi kumaha ieu teh?" Saivul memanggil-manggil dengan putus asa.

"Kadieu atuh! Sayang kamu bukan domba jadi tak ada yang memilihmu hahaha," Ustad Dirsya terbahak menyaksikan Saivul yang berusaha membuka ikatannya.

Ustad Dirsya mendapatkan penghormatan yang setinggi-tingginya dari tetua dan penduduk Desa Ciherang. Mereka kemudian mengantar kepergian ustad dan murid pengembara itu keesokan harinya. Desa Ciherang pun kembali tenang seperti sediakala.

Sementara itu Saivul yang lugu masih tak paham dengan apa yang terjadi. Sepanjang perjalanan tak hentinya jari-jarinya menghitung jumlah pembagian domba.

"Ustad, kenapa atuh saya diikat kalau ternyata jumlah yang dibagi itu tetap tujuh?" protesnya kemudian.

"Hahaha mungkin sudah takdirmu merasakan terikat seperti domba!" Ustad Dirsya tertawa.

"Seringkali karena nafsu kita tak bisa menilai sesuatu dengan pikiran jernih." ucapnya kemudian.

Saivul berusaha keras memecahkan kebijaksanaan terselubung itu. Keluguannya tak mampu merangkai makna sebenarnya dari kejadian kemarin. Yang ia pahami, sebenarnya tidak ada masalah yang patut dipermasalahkan dari pembagian domba itu.

Dan di sebuah teras tampak tiga orang pemuda yang sedang termenung. Kopi-kopi hitam mendingin di udara sore desa. Mereka terdiam, memaknai percekcokan mereka yang sia-sia. Karena sebenarnya mereka telah memikirkan yang tak perlu dipikirkan. Dan meributkan hal yang tak perlu diributkan. Semuanya tampak sederhana sekarang, karena ketiga pemuda itu telah merubah sudut pandang mereka, jadi lebih sederhana.

   ***********************

Ujang kadarieu sakedap! = anak-anakku kemarilah!

Aya naon bapa? = ada apa bapa?

Domba oge ngan aya tujuh = domba juga cuma ada tujuh

Abdi kumaha ieu teh? = saya gimana nih?

Kadieu atuh! = kesini!