Sabtu, 24 November 2018

Katineung dan Cililin


     Benar-benar memalukan sebagai orang Bandung kalau tidak tahu tentang Cililin, dan saya tidak malu mengakui kalau termasuk di dalamnya. Yah, berpuluh tahun menghabiskan waktu di ibukota Provinsi Jawa Barat ini ternyata tidak menjadikan saya lebih paham batas-batas wilayahnya, bahkan baru kemarin menginjak Cililin. 

Memalukan? Absolutely! Tapi tunggu dulu ... hal itu tidak membuat saya minder, malah langsung ambil ponsel dan ketik di Mbah Google tentang daerah ini. Dan hasilnya? Wow ... saya sampai bertanya pada diri sendiri, kamana wae atuh, Neng?

            
        Cililin sendiri sebuah kota kecamatan yang terletak di Bandung Barat, sekitar 40 km dari Bandung. Ini menjelaskan kenapa kemarin dalam perjalanan terlihat bukit kapur. Saya sempat heran dan takut nyasar waktu tiba-tiba bukit kapur itu tampak, kenapa kayak di Padalarang ini mah? Terus terang itu yang terlintas di pikiran. Eh, ternyata selidik punya selidik Cililin itu berada di Bandung Barat ... ya, pastilah ada batu kapur, kalau di Padalarang mah dikenal dengan sebutan Tagog Apu

    Dan  sepanjang perjalanan saya dibuat terheran-heran dengan banyaknya tempat wisata yang bisa dikunjungi di daerah ini, diantaranya Curug Malela, niagaranya Jawa Barat, dan masih banyak curug-curug yang lain. Oh, iya, ada restoran terapung juga yang jaraknya sekitar satu kilo dari alun-alun Cililin. Ini benar-benar pukulan buat saya yang senang halan-halan, ternyata daerah ini menyimpan harta karun yang belum pernah terekspos di blog saya.


            Sayangnya karena keterbatasan waktu dan minimnya pengetahuan kami [saya pergi dengan teman, dan sempat kukurilingan nyasar karena ngikutin jalan di Maps, petunjuknya mah bener, yang bacanya enggak bener, salah belok tea isitilahna mah] tentang arah menuju Cililin, jadinya saya tidak sempat mengambil banyak gambar. 

      Yang pastinya sepanjang jalan banyak warung oleh-oleh dengan gurilem-gurilem aneka bentuk dan rasa tergantung. Duh, gurilem. Kerupuk pedas yang selalu viral di hati para cewek ini ternyata berasal dari Cililin. Dan aku baru tahu kemarin! [ini sambil ngusap airmata ... istilahnya mah, sakit tak berdarah tea]. 
     
    Kembali karena masalah teknis waktu, jadinya tidak sempat turun untuk membeli salah satu jenis oleh-oleh Cililin itu. Padahal selain kerupuk pedas ada juga wajit, angleng dan ladu yang bisa dibeli di warung oleh-oleh. Mungkin lain waktu saja, kalau saya kembali lagi untuk memviralkan wisata-wisata di tempat ini [bertekad].

Jadi ada apa ke Cililin?

       Sebenarnya agenda utama kami ke sebuah panti yatim untuk mengisi sebuah acara pelatihan kemandirian kaum wanita. Tapi topik ini saya bahas di artikel yang lain, jadinya di sini khusus untuk curhat kekaguman tentang Cililin. 
       
        Kembali ke permasalahan saya yang kudet tentang daerah ini, setelah selesai acara di panti ternyata pemiliknya mengajak kami untuk makan siang. Tadinya saya kira makan di restoran pinggir jalan yang ada di seberang jalan masuk panti, tapi lagi-lagi salah. Rupanya Ustad Arief ini termasuk generasi milenia, beliau mengajak kami ke sebuah tempat makan yang unik.

       Di muka tempat ini tampak seperti cafe, dan ketika masuk memang segala atribut yang berbau cafe tersemat di dalamnya. Tapi tunggu dulu! Ada pojokan yang bernuansa cafe dan ada pojok lain yang khas sekali orang Sunda, lesehan di bale-bale. 

       Tapi ini mah bale-bale modern, dan asyiknya pojokan ini langsung bersisian dengan pemandangan yang aduhai. Kita bisa melihat bukit-bukit hijau dengan hamparan kehijauan di kakinya. 

Bale-bale

Coffee Bar


        Katanya kalau debit di Saguling sedang tinggi, maka hamparan hijau itu akan tenggelam oleh air sungai Citarum, dan hijaunya bakal berubah jadi danau. Wow, cool! Sayang sekali, debit bendungan Saguling sedang turun ketika makan di tempat ini, jadinya hanya bisa berpuas diri dengan hamparan hijau memesona di bawah kami.

Apa sih nama cafe-nya?

       Jujur, saking asyiknya menikmati menu yang dipesan dan pemandangan yang asri, saya sampai lupa mengambil foto dan mewancarai pemilik Cafe Katineung ini. 



     Kebetulan pada waktu itu kami dipesankan ikan bakar, sayur kangkung dan lotek mentah [sayuran dengan bumbu kacang], ditambah dua jenis sambal. 


   Ternyata tempat makan ini memang ciri khasnya fish grill & coffee, pantas saja ikan bakarnya sangat enak. Sayangnya saya tidak sempat mencicipi kopi yang ada. Oh, ya, tempat ini menyediakan pula buku-buku yang bisa dibaca sebagai teman membunuh waktu. Dan ada juga beberapa macam oleh-oleh khas cafe ini yang bisa diboyong pulang. 

    Yang menambah cantik Cafe Katineung adalah tanaman-tanaman hiasnya yang sengaja di simpan dalam botol-botol daur ulang, kemudian digantung untuk menambah kesejukan ruangan. Akar-akar tanamannya terlihat indah dalam botol kaca yang diisi air.



Sangat disesalkan karena keterbatasan waktu saya tidak bisa optimal mengolah kunjungan waktu itu. Cililin pada awalnya hanya berupa alphabet yang saya lihat di elf-elf yang lalu-lalang di jalanan. Tapi kini tempat itu tiba-tiba mengambil alih setengah porsi keingintahuan saya, dan bertekad untuk menjelajahinya. 

 Saya yakin, untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya yang ada di Indonesia bisa diawali dengan memperkenalkan keunikan yang dimiliki oleh daerah masing-masing. Jadi bagaimana, tertarik mengunjungi daerah ini? Ayo, serbu gurilem-nya!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar