5 Fakta Penderita Kusta dan OYPMK
Sulit Diterima Masyarakat
Hari
Kamis, 30 Juni 2022 saya mengikuti live
streaming dengan topik yang menarik di channel Berita KBR. Mengambil tajuk “Rehabilitasi
Sosial Yang Terintegrasi Untuk OYPMK & Disabilitas Siap Bekerja”, membuat mata
saya jadi makin terbuka tentang penyakit kusta dan segala permasalahan yang
mengikutinya.
Informasi
dan fakta terkait masalah yang ada di sekitar penyandang disabilitas dan OYPMK
dari para nara sumber Ibu Sumiatun S.Sos, M.Si dan Mbak Tety Sianipar, sangat
mengkhawatirkan dan mencengangkan. Ternyata kusta benar-benar mendapat stigma
buruk dari masyarakat dan butuh waktu untuk menghilangkannya. Harus ada edukasi
menyeluruh agar mereka paham tentang penyakit ini, hingga berhenti melakukan
tindakan pengucilan terhadap penyandang disabilitas dan OYPMK (Orang Yang
Pernah Menderita Kusta).
5 Fakta Penyandang Disabilitas dan
OYPMK Sulit Diterima
Adalah
kenyataan apabila kusta memang didoktrin penyakit yang mengerikan oleh
masyarakat. Meskipun penyandang kusta telah dinyatakan sembuh oleh dokter,
tetap saja masyarakat sulit menerima keberadaannya di lingkungan mereka. Masih
banyak yang menganggap kusta penyakit menakutkan yang tak bisa sembuh. Rata-rata
mereka sulit menerima penyandang disabilitas dan OYPMK karena alasan berikut
ini;
Kusta penyakit menular yang tidak
menular, disebut seperti ini karena penularan kusta memang
tidak instan, tapi butuh waktu yang cukup lama. Bahkan cenderung tidak terlihat
penularannya dan gejalanya sering diabaikan. Hal ini yang membuat masyarakat
takut dan curiga terhadap penyandang disabilitas juga OYPMK.
Cacat pada penderita kusta
menakutkan, luka bekas kusta memang tampak mengerikan dan
meninggalkan bekas yang permanen pada bagian tubuh yang terkena penyakit. Kebanyakan
orang pasti takut dan tidak ingin kontak dengan penyandang kusta walaupun sudah
dinyatakan sembuh.
Kusta dianggap penyakit yang tidak
bisa sembuh, karena bekas luka permanen yang tampak
itu banyak orang berkeyakinan kalau kusta tidak bisa sembuh. Mereka takut kalau
kontak dengan OYPMK akan tertular kusta juga.
Dianggap tidak memiliki kemampuan
untuk bekerja, mereka yang telah sembuh dari kusta
diyakini oleh masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk berkarya meskipun telah
mendapat pelatihan tentang pekerjaan.
Ditakutkan jadi beban,
mirisnya mereka juga dianggap bakal jadi beban, baik di lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun pekerjaan. Karena diawalnya memang kemampuan bekerja dan
berkaryanya telah diragukan.
Tantangan Terbesar OYPMK dan
Penyandang Disabilitas
Memang
menyedihkan stigma terhadap penyandang disabilitas dan OYPMK tersebut. Namun apa
mau dikata, karena masih banyak anggota masyarakat yang belum mendapatkan
edukasi menyeluruh tentang kusta. OYPMK dan penyandang disabilitas hingga saat
ini tetap kesulitan untuk berbaur kembali di lingkungan masyarakat. Berbagai stigma
negatif seolah mengurung mereka dalam lingkaran diskriminasi sebagai akibat
dari Leprofobia (ketakutan berlebihan pada penderita kusta).
Seperti
yang dijelaskan oleh para nara sumber pada acara live streaming, dampak dari diskriminasi tersebut terasa sekali
dalam bidang pekerjaan. OYPMK dan penyandang disabilitas kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah mereka melalui proses rehabilitasi dan
pelatihan kesiapan untuk bekerja sekalipun.
Diskriminasi
menyebabkan penyandang disabilitas dan OYPMK juga kesulitan dalam bersosialisasi
dan mengembangkan diri. Terutama pengembangan diri untuk produktif dalam
bekerja. Tidak adanya dukungan sosial dari masyarakat juga sulitnya mengakses
rehabilitasi sosial membuat proses pembauran sosial mereka jadi terhambat. Hal ini
menyulitkan persiapan pelatihan mereka untuk produktif bekerja.
Padahal, seperti pernyataan Ibu Sumiatun S.Sos, M.Si, bahwa Kemensos bidang rehabilitasi sosial, memiliki program ATENSI (asistensi rehabilitas sosial). Di mana program ini memang disediakan untuk memfasilitasi para disabilitas termasuk penyandang dan eks kusta, salah satunya agar bisa produktif bekerja. Hal tersebut merujuk pada 26 hak penyandang disabilitas, yang salah satunya adalah hak terhadap pekerjaan.
Program rehabilitasi dari Kemensos ini merujuk pada UU No 8 tahun 2016, bahwa Hak habiltasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi sejak dini secara inklusif sesuai dengan kebutuhan: bebas memilih bentuk rehabilitasi yang akan diikuti: dan mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak merendahkan martabat manusia.
Kegiatan Rehabilitasi Sosial penyandang disabiliatas ini mencakup poin-poin berikut dan dilaksanakan melalui kantor pusat, Dinas Sosial, serta Unit Pelaksana Teknis.
1. Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB)
2. Peningkatan keterampilan parenting skill bagi pendamping dan orang tua penyandang disabilitas berat dan penyandang disabilitas Intelektual
3. Pemantapan pendamping ASPDB
4. Penguatan peran keluarga dan masyarakat dalam Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Rungu Wicara dan rungu wicara untuk kemandirian di masyarakat
5. Unit informasi dan layanan sosial
6. Pelayanan sosial dalam kedaruratan
Ditambah dengan pernyataan Mbak Tety Sianipar, dimana Kerjabilitas membantu
eks kusta dan disabilitas dalam memfasilitasi
mereka agar bisa masuk ke dunia kerja formal. Sayangnya, kemudahan-kemudahan
akses tersebut terhambat jalannya akibat stigma masyarakat. Kenyataannya,
disabilitas dan eks kusta masih tetap saja kesulitan diterima di tengah
masyarakat.
Dari
hal di atas dapat disimpulkan apabila masalah disabilitas dan eks kusta ini merupakan
tanggung jawab bersama. Semua pihak harus mau bersinergi agar masalah
diskriminasi terhadap disabilitas dan OYPMK dapat ditanggulangi. Sehingga pada
akhirnya mereka dapat berbaur kembali di masyarakat dan mendapatkan hak-hak
penyandang disabilitas.